Jika diibaratkan proses produksi, menulis adalah pekerjaan mengolah masukan atau input menjadi keluaran atau output. Proses produksi yang dikerjakan sangat bergantung pada sumber dayanya. Dalam konteks menulis, sumber daya itu ialah hasil pembacaan, nalar, dan analisis terhadap sesuatu hal.
Jika semua berjalan dengan baik, mutu produk yang dihasilkan juga ciamik. Andai saban waktu proses produksi di-input dengan bahan baku dan sumber daya berkualitas, hakulyakin mutunya juga bagus.
Jika pembacaan, analisis, dan aktualitas dalam menulis juga baik, hasilnya juga bakal mantap. Artinya, input itu insya Allah berbanding lurus dengan hasil. Dalam menulis, ini juga berlaku.
Nah, dalam konteks modern, kini sebuah korporasi tak cuma memproduksi. Ia mesti menjual produk itu dengan lini penjualan yang atraktif. Tujuannya ialah menjual sebanyak mungkin dan mendapatkan laba yang paling besar.
Untuk mewujudkan itu, pemasaran menjadi penting. Soal harga, mutu produk, promosi, dan distribusi yang tepercaya harus diperhatikan.
Produk tulisan kita pun demikian. Sasarannya mesti jelas supaya tujuan tulisan itu dibaca khalayak. Promosi juga hendaknya dilakukan semaksimal mungkin agar orang tertarik membacanya. Berdasar pengalaman pribadi dan penulis lain, ada resep memasarkan tulisan yang bisa dipraktikkan. Niat kita ialah tulisan itu dipublikasikan media, mendapat komentar, punya pengaruh di pengambil kebijakan, dan mendapatkan honorarium atas tulisan itu. Berikut resep manjur memasarkan tulisan.
Pertama, siapkan sumber daya
Proses produksi tulisan ini tak bakal muncul dari alat-alat produksinya tidak ada. Buku sebagai referensi tidak ada, koran dan majalah juga tak berlangganan atau tak membaca di perpustakaan, termasuk fasilitas komputer, laptop, atau ponsel cerdas bersistem operasi.
Ini bukan berarti bermewah-mewah, tetapi itu semua modal. Tanpa bermodal, sulit buat kita membikin produk, terutama produk tulisan.
Karena ini berkaitan dengan kerja intelektual, basis modal juga berkenaan dengan itu. Aktivitas membaca kan perlu objek bacaan, bisa koran, majalah, tabloid, dan situs di internet. Tanpa itu, sulit. Akses informasi dalam ranah penulisan sungguh mahapenting. Lantaran itulah kapital penulis mesti ada karena itu memang modal dasar.
Kita tentu mau menghasilkan tulisan yang bagus dan memasarkannya dengan optimal. Untuk itu, proses produksinya dijaga supaya berkualitas.
Dalam hal internet, misalnya, zaman sekarang sudah menjadi kebutuhan utama. Kalau mau cepat mengirim artikel, kita sudah pasti membutuhkan internet. Sebab, hampir semua media mensyaratkan pengiriman secara online untuk artikel yang dikirim.
Tanpa modal produksi yang cukup, produk kita tak bakal terwujud, apalagi bermutu bagus. Terlebih untuk dipasarkan.
Maka itu, semua peralatan dan perlengkapan dalam produksi bukan sekadar pengeluaran. Itu semua adalah modal, investasi. Manfaatnya akan dirasakan setelah produksi berjalan. Yang namanya investasi itu akan diketahui maslahatnya di masa mendatang. Apalagi peralatan produksi konten intelektual itu bisa tahan lama. Satu set laptop plus modem bisa menghasilkan puluhan tulisan. Jadi, tak ada kata rugi menginvestasikan uang dalam bentuk barang produksi untuk menulis. Selain untuk menulis, komputer atau laptop juga bisa digunakan untuk membuat tampilan saat mengisi pelatihan menulis. Program Power Point dibikin untuk itu.
Kedua, pastikan produk berkualitas
Pemasaran yang baik akan sia-sia jika produk tulisan kita mutunya buruk. Temanya basi, kontennya cuma bisa mengulang artikel orang lain, idenya juga sama, tak ada solusi meski sedikit, bahasanya amburadul, dan teknik penulisan yang kacau. Maka, seberapa gigih kita memasarkan, produk itu bakal gagal diserap pasar atau menarik perhatian redaksi media massa.
Sebab itu, pastikan dulu produk tulisan kita berkualitas. Berkualitas itu tentu saja memenuhi unsur yang diminta media. Sudah tentu aktualitas, ide baru, solusi, bahasa yang lugas dan bernas, serta teknik penulisan yang memadai. Supaya produk itu terjaga mutunya, diuji coba saja dulu sebelum dikirim. Kirimkan naskah tulisan itu kepada beberapa teman, bisa dua atau tiga orang. Mintalah kepada mereka masukan atau kritik atas tulisan itu. Apa yang mereka berikan dijadikan input untuk menyunting naskah dengan baik. Ini bagus dilakukan supaya sejak awal kita tahu apakah kira-kira produk kita diserap pasar atau tidak.
Menguji tulisan kita kepada sejawat adalah langkah penting untuk mengetahui bagaimana respons pembaca. Kalau mereka menganggap tulisan kita enak dibaca, penuh dengan ide yang baru, dan aktualitasnya oke, itu bisa menjadi tolok ukur. Kalaupun kita kirim ke media, tidak bakal memalukan.
Cuma yang mesti dipahami, kita mesti membuka diri atas kritik yang disampaikan, bahkan terhadap yang paling keras sekalipun. Misalnya, sejawat kita mengatakan bahwa tulisan kita itu bahasanya mumet, pengaturan alineanya berantakan, tidak jelas konten yang mau disampaikan, dan sebagainya. Tak mengapa. Anggaplah itu proses menjaga kualitas produk dengan total quality management.
Setelah diuji coba, perbaiki sesuai dengan saran-saran yang masuk. Lalu, rehabilitasi produk tulisan hingga khusnul khatimah.
Ketiga, inventarisasi pasar/media
Buat penulis yang sangat produktif, pengetahuan terhadap jumlah media sangat penting. Ini dimaksudkan agar tulisan bisa didistribusikan secara merata ke semua media. Ibarat produk, kita mesti tahu menjual perkakas elektronik di supermarket mana, menjual cenderamata kreatif di gerai apa, dan menjual kaus berdesain unik di pasar seni bagian mana. Sama dengan tulisan, kita mesti tahu sasaran yang dituju.
Pengalaman di lapangan membuktikan hal itu. Saat tahun-tahun pertama mulai menulis dalam artian dikirim ke media, saya bisa disebut kemaruk. Dalam sehari minimal bisa satu artikel selesai. Satu bulan penuh! Bahkan, ketika semangat menulis tidak bisa dicegah, banyak tulisan yang berhasil dibikin dalam tempo sehari.
Di Lampung, cuma dua media cetak lokal yang menyediakan rubrik opini dan dibayar: Lampung Post dan Radar Lampung. Bedanya cuma honor. Lampung Post lebih besar daripada Radar. Satu artikel di Lampung Post dihargai Rp 150 ribu, sedangkan di Radar Rp 75 ribu. Kalau hari Minggu, malah cuma Lampung Post yang mempersilakan para penulis lepas menulis esai, resensi buku, cerpen, puisi, dan cerita anak. Jadi, sangat terbatas.
Selain tema politik dan ekonomi, saya pun suka menulis soal lingkungan. Sebab, dibanding ekonomi dan politik, tema lingkungan ini lebih konkret. Rusak lingkungan, rusak pula kehidupan manusia, kerusakan hutan dan daerah resapan air bisa langsung berdampak pada kekeringan saat kemarau tiba.
Nah, dengan produk tulisan yang melimpah seperti ini, sulit kalau mengandalkan dua media saja. Kalau dalam sehari kita mampu menulis dua artikel, dua media lokal itulah yang dipilih. Masalahnya ialah, andaipun dimuat, periodenya takkan terlalu sering. Tulisan saya di Lampung Post dalam sebulan paling banyak empat kali. Itu sudah tergolong luar biasa. Umumnya cuma dua kali. Di Radar pun demikian. Bagaimana jika dalam sepekan kita bisa menghasilkan tulisan sampai sepuluh artikel? Kita wajib membuka pasar baru!
Caranya ialah dengan menginventarisasi sebanyak mungkin media yang punya rubrik opini. Untuk mengatasi tulisan bertema lingkungan, saya kemudian menghubungi sejawat saat SMA yang bekerja di majalah Jurnal Tropika Indonesia. Alhamdulillah, meski tak acap, tulisan saya dimuat di media itu. Honornya pun lebih besar. Karena adik kandung saya juga mengelola buletin Siamang di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, saya pun sering melempar tulisan soal lingkungan, seperti pembalakan liar, menjaga ekosistem, dan sebagainya ke media itu. Syukurnya juga ada uang lelah menulisnya. Dengan kata lain, pasar untuk tulisan bertajuk lingkungan sudah saya bentuk. Tak khawatir lagi menulisnya karena pasarnya sudah ada.
Dalam hal fiksi pun demikian. Ada beberapa cerpen berlatar Perang Dunia II yang tak “diminati” media lokal. Setelah berkeliling toko buku, saya dulu menemukan majalah Insani. Formatnya mirip Intisari. Cerpennya ada dan temanya mirip dengan beberapa cerpen saya. Saya pun mengirim ke sana dan…. dimuat juga. Pasar baru kemudian terbuka.
Pun kini untuk memenuhi hasrat menulis saya soal feature dan tulisan motivasi, majalah Khalifah yang bernaung dalam grup Indomedia menjadi sasaran pemasaran selanjutnya.
Dengan menginventarisasi media massa, berarti kita membuka pasar baru untuk karya tulis yang kita buat.
Keempat, perluas akses/jaringan
Memperluas pasar tulisan perlu dibangun dengan kontinu. Ini akan meluaskan daya jelajah artikel yang kita buat. Semakin luas jaringan yang terbangun, peluang pemasaran tulisan kita juga semakin besar.
Maka itu, bangunlah jaringan dengan pengelola media massa, utamanya redaktur opini atau sastra. Cara paling gampang ialah ikuti setiap pelatihan jurnalistik yang diisi oleh pengelola media massa. Khususnya pemimpin redaksi atau redaktur opininya.
Bisa juga kalau ada diskusi yang diadakan media atau menghadirkan penggawa media, kita hadir, melontarkan gagasan, dan berkenalan. Berkenalan itu penting untuk mempromosikan diri. Yang penting kualitas tulisan kita layak tayang sehingga akses atau perkenalan itu cuma menstimulus saja.
Kelima, cepat melakukan penetrasi
Kecepatan dalam hal pemasaran itu penting. Pepatah mengatakan siapa cepat, dia dapat. Maka itu, dalam strategi pemasaran tulisan, jangan pernah menunda. Begitu ide datang, segeralah menulis dan memublikasikannya. Aktualitas yang diutamakan media massa membuat kita mesti bersicepat dengan waktu. Ada banyak kompetitor yang mengirim artikel dalam sehari. Kompetisi berlangsung dengan ketat. Untuk memenangkan persaingan, selain mutu produk tulisan kita bagus, wajib ditunjang dengan kecepatan dalam menemui pelanggan. Maka itu, jangan menunda-nunda sebuah tulisan untuk dituntaskan.
Semakin cepat kita mengirim tulisan ke media, pihak redaksi akan menganggap kita serius dalam berkarya. Sebab, mereka pun membutuhkan tulisan yang aktual dan cepat sampai ke mejanya.
Apa keuntungan cepat melakukan penetrasi? Tentu saja karena kita yang paling dahulu memenuhi kebutuhan pasar. Saat sebuah daerah membutuhkan makanan khas yang enak, yang muncul lebih dahulu memiliki kans untuk menjadi besar ketimbang pengikut. Facebook datang dengan keunggulan akses yang luas dan tiada pembatasan. Setiap pengguna jaringan bebas mengunggah foto, berkomentar, mencari teman, dan sebagainya. Situs ciptaan Mark Zuckerberg ini terdepan dalam media jaringan online. Mereka menjadi pemimpin pasar. Ditunjang dengan perbaikan dan penambahan terus-menerus kapasitas, Facebook masih eksis sampai sekarang.
Aqua juga hadir lebih dulu ketimbang pesaing mereka. Saat pertama muncul, tak ada yang berani memprediksi inovasi Tirto Utomo itu bakal laku. Ngapain jual air minum segala? Toh, ide brilian itu akhirnya berujung dengan kesuksesan. Sama dengan penulis, juga mesti berani mempenetrasi pasar lebih dini ketimbang yang lain.
Portal berita Detikcom juga demikian. Saat yang lain masih terlena dengan media dalam bentuk cetak, laman daring ini lebih dulu muncul. Kini, setiap koran selalu menempatkan berita dari Detikcom sebagai menu utama edisi cetak mereka, selain Antara dan kantor berita luar negeri lainnya.
Kabar terbaru, grup Para pimpinan Chairul Tanjung membeli Detikcom yang punya pendapatan atas iklan selama setahun sebesar lebih dari Rp 100 miliar. Luar biasa! Andai Detikcom tak memulainya duluan, barangkali nasibnya tak seperti sekarang. Jadi, yuk kita merangsek dengan lebih dulu memasuki gelanggang pasar tulisan!
Keenam, miliki keunggulan komparatif
Mungkin ada banyak kesamaan ciri tulisan antara penulis satu dan yang lain. Bisa jadi tulisan kita sama dengan yang lain. Dari konten yang diangkat barangkali sama, mungkin juga teknik penulisan. Nah, supaya kita punya pembeda dengan penulis lain, milikilah keunggulan komparatif atau comparative advantage.
Dalam konteks ekonomi internasional, misalnya, keunggulan komparatif itu antara lain upah buruh yang terjangkau, ketersediaan sumber daya alam yang melimpah, kemudahan perizinan atau regulasi.
Dalam ranah penulisan, keunggulan komparatif itu mesti ada. Ia semacam pembeda antara tulisan kita dan penulis lain. Misalnya, dalam tulisan politik, kita mengayakan tema tulisan dengan data survei politik terbaru atau ulasan pakar politik yang mutakhir. Bisa juga dengan menambah dengan jajak pendapat sederhana yang kita lakukan sendiri.
Dalam tulisan ekonomi, misalnya, kita mampu menyajikan hal menarik dan unik yang tidak bisa dilakukan oleh penulis lain. Yang paling sederhana saat menjelaskan soal inflasi. Jika dimaknai sebagai kenaikan harga barang secara umum, mungkin masih absurd. Tapi, saat kita mencontohkan dengan menggunakan amsal harga permen saat ini dengan sepuluh tahun lalu, barangkali mudah dipahami. Bahkan, itu bisa dijadikan sebagai judul artikel: Inflasi dan Kenaikan Harga Permen.
Keunggulan komparatif tidak mesti banyak, satu hal kecil asal dia menarik, itu sudah unggul.
Ketujuh, berilah insentif
Pasar mesti diperlakukan dengan istimewa. Kadang korporasi memberikan insentif kepada pelanggannya. Misal produk makanan ringan memberikan paket beli satu dapat satu. Atau, produk minuman memberikan korting yang besar.
Dalam konteks produk tulisan, kita juga bisa memberikan insentif, khususnya kepada pembaca. Bentuknya apa ya? Bisa dengan mengadakan pelatihan buat komunitas pelajar atau mahasiswa secara gratis. Supaya ada hubungan erat dengan media, bisa juga meminta redaktur opini sebagai pembicara tamu.
Memberikan pelatihan secara gratis, selain menambah pengalaman, juga bisa menyenangkan orang lain. Mereka akan mendapat ilmu kepenulisan dan motivasi dari penulis yang karyanya acap mereka baca. Ini juga memperkuat posisi kita sekaligus bentuk pengakuan eksistensi diri dalam hal menulis.
Pihak redaksi media juga akan menilai bahwa kita memang punya kesungguhan dalam menulis dan punya kemauan untuk berbagi: sharing, connecting. Ini berimbas pada prioritas oleh media kepada kita ketimbang penulis lain. Yuk, kita serius memasarkan tulisan!
sumber
http://bahasa.kompasiana.com/2011/07/08/resep-manjur-memasarkan-tulisan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
http://outoforder03.blogspot.com/